> Chapter 1 – Kioku ( 記憶 ) - AZETHANIME

Chapter 1 – Kioku ( 記憶 )

BY azethanime ON 22.06 Add Comment


“Taku! Kau dengar tidak?!”

Setelah tersadar dari lamunanku, kudapati pandangan seluruh murid tertuju padaku. Apa aku telah melakukan suatu yang salah? Memikirkannya saja menyebabkan keringat dingin mengalir deras di wajahku yang mungkin sudah pucat pasi.

“Pssttt, Taku.” Terdengar bisikan kecil dari sebelah kiriku, “Kau dipanggil sensei, berdirilah!” setelah kutengok kearah sumber suara terlihat seorang gadis bertubuh kecil dengan rambut sebahu menarik lengan bajuku. Segera saja kuturuti perkataannya.

“Ada apa sensei?” Kataku sambil bangkit dari tempat duduk.

“Jangan tanya ada apa!” bentaknya, “Kau tidur lagi di kelasku ‘kan?!”

Seisi kelas bergemuruh kecil bagai supporter bola merayakan gol.

“Chinatsu!” lanjut sensei, “katakan pada Taku pertanyaan tadi!”

“Baik!” jawab gadis di sebelahku dengan tegas, “Sensei bertanya padamu tentang pengertian diferensiasi sosial.”

“Diferensiasi sosial adalah pengelompokkan sosial yang memiliki tingkatan sama, seperti pengelompokan masyarakat berdasarkan agama, suku dan ras.” Jawabku spontan.

“Baiklah sensei maafkan.” Katanya dengan nada melunak, “lain kali jangan tidur lagi.”

Are? Apa yang baru saja kukatakan? Apa jawaban tadi benar? Pikiranku dipenuhi dengan ribuan pertanyaan disepanjang sisa waktu pelajaran hingga terdegar bel tanda akhir pelajaran.

“Oke! Cukup untuk hari ini!” Ucap sensei sambil meletakkan kapur tulis, “kita bertemu lagi besok!” tak lama kemudian beliau meninggalkan ruangan ini bersamaan dengan suasana kelas yang berubah 180 derajat.

“Hey Taku kau tidur lagi ya?”

“Kau tak pernah kapok.”

“Apa dirumahmu tak ada kasur?”

“Bagaimana caramu masuk sekolah ini?”

“Tolong seriuslah saat di sekolah!”

Silih berganti mereka melontarkan pertanyaan padaku tanpa memberiku kesempatan menjawab. Tanpa mereka bertanya pun sebenarnya aku juga ingin bertanya pada diriku, namun itu hanya akan menjadi pertanyaan yang tak akan terjawab.

“Ano! Bisakah kalian berhenti?” terdengar bentakan seseorang yang mampu menghentikan kegaduhan ini yang tidak lain dan tidak bukan adalah gadis disebelahku, “Kalian membuat Taku kebingungan.” Ucapnya membelaku, ini kali kedua aku ditolong olehnya.

Setelah itu satu-persatu dari mereka pulang, kini hanya kami berdua yang tersisa. Sambil memasukkan buku ke dalam tas gadis ini melihatku dengan tatapan heran. Ya, karena aku belum merapikan buku-bukuku, diriku masih merasa aneh saat ini tapi disaat yang sama tidak dapat melakukan sesuatu yang berarti untuk menemukan solusinya.

“Ayo pulang Taku.” Ajaknya sambil menjulurkan tangan dan aku hanya terdiam.

“Hari ini kau bersikap aneh, apa ada masalah?” tanyanya dengan raut wajah khawatir, “Apa kau demam?” ucapnya sambil mendekatkan wajahnya, menempelkan dahinya untuk memeriksa suhu tubuhku.

“Ah, tidak kok, aku baik-baik saja.” Jawabku panik karena dia terlalu dekat, saking dekatnya aku dapat merasakan nafas dan aroma parfum yang dia kenakan.

“Kalau begitu ayo pulang.” Ajaknya lagi.

“A-ayo.”

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang bersama, atau lebih tepat disebut mengikutinya karena aku tak tahu kemana mau kembali dan terlalu berat rasanya untuk mengatakannya. bahkan jalanan aspal yang lurus sepanjang mata melihat ini tampak asing bagiku, bukan tidak mungkin aku akan tersesat jika tidak bersama gadis bernama Chinatsu ini.

“Taku, kau mau ice cream?”

“Ah! Aa, Iya!”

“Kalau begitu ayo kita mampir ke Betamart!” Ajaknya bersemangat. Sambil menggenggam tanganku dia berlari menuju sebuah minimarket. Sesampainya disana dia langsung masuk kedalam sedangkan aku memilih menunggu di depan.

“Paman!” teriak Chinatsu, “Ice cream-nya ada?” lanjutnya dengan nada riang yang menyenangkan bagi siapapun yang mendengarnya.

“Oh, Chinatsu kau mampir lagi ya.” Balasan dari paman penjaga minimarket yang tak kalah ramah, “terimakasih selalu datang kemari.”

Di bangku yang ada di depan minimarket aku berpikir siapa sebenarnya Chinatsu ini. Karena dia bersikap baik padaku hingga pulang bersama mungkin dia temanku atau lebih dari itu, tapi aku tak mau berspekulasi. Lebih baik ku tanya padanya nanti.

“Ini ice cream cokelat untuk Taku.”

“Te-terimakasih.” Jawabku gagap.

“Kau tahu?” Chinatsu memulai pembicaraan, “Cokelat bisa menurunkan stress.”

“Aku baru dengar.”

Meski agak meragukan korelasi coklat dengan syaraf otak yang bertanggung jawab atas gelaja stress, tapi setelah menikmati ice cream pikiranku sedikit berubah. Kami berdua menikmati dinginnya ice cream menghadap pemandangan matahari terbenam. Untuk beberapa saat aku merasa sedikit banyak bisa melupakan masalahku meski hal tersebut masih belum hilang dan untuk beberapa saat juga aku merasakan bahwa dia sesekali mencuri pandang kearahku, aku berusaha untuk bersikap biasa saja saat pandangan kami saling bertemu.

“Gimana? Ice cream-nya enak?” tanyanya.

“Iya.” Jawabku pendek.

“Kalau gitu, bisakah kau cerita tentang sikap anehmu hari ini?” tanya Chinatsu.

Bagai petir disiang hari pertanyaan Chinatsu barusan membuatku terkejut, tak kusangka orang sepertinya menanyakan sesuatu secara to the point, tapi kemudian aku mengerti bahwa dia mengajakku menikmati ice cream adalah untuk menanyakan hal ini.

“Kita bicarakan sambil jalan saja, ini sudah hampir gelap.” Jawabku mengulur waktu.

Di jalan pun aku tak segera bercerita, hanya mengulangi langkah kaki kiri dan kanan sembari berharap sampai ke tempat yang bisa kusebut rumah. Begitu pikirku, meski Chinatsu pantang menyerah untuk mendengar apa yang ingin dia dengar dariku, pertanyaan ‘Kenapa sikapmu hari ini aneh’ terus dia lontarkan disepanjang jalan hingga kesabarannya habis, dan usaha terakhir yang dia lakukan kali ini adalah berdiri di depanku seolah memblokir jalan.

“Aku mulai darimana ya?” jawabku masih mengulur waktu karena ragu mengatakannya.

“Sudahlah cepat katakan saja!” Ucapnya dengan sedikit membentak.

Sepertinya sampai disini saja aku bisa menyembunyikan ini, perasaan aneh yang terus menggangguku sejak di kelas yang tak bisa kutemukan jawaban maupun solusinya sekeras apapun aku memikirkannya.

“Dengarkan aku Chinatsu! Sebenarnya aku,, tidak memiliki ingatan sebelum hari ini!”

Akhirnya aku mengatakannya, hal yang membuat diriku merasa seperti orang asing seharian ini. Tak ada yang menyadarinya karena memang aku tak memperlihatkannya, tapi karena aku sudah mengatakannya, reaksi seperti apakah yang akan kuterima?

Suasana hening untuk beberapa saat hingga sebuah tamparan keras yang dilayangkan Chinatsu mendarat tepat di pipi kiriku hingga kacamataku tergeletak ke tanah, Chinatsu pun kabur disaat pandanganku buram hingga tak sempat mengejarnya. Sekarang apa yang harus kulakukan? Tanpa mengetahui apapun, tanpa arah dan tujuan bahkan tak tahu kemana harus kembali. Tanpa sadar, air mata mengalir deras di kedua pipiku, sambil meratapi nasib antara hilang ingatan dan perasaan bersalah membuat Chinatsu sedih membuat hati ini campur aduk rasanya. Entah berapa lama aku berdiri di jalanan nan kosong ini, aku tidak menghitungnya. Meski air mata yang mengalir tadi kini sudah kering namun rasa sakit ini masih terasa.

“Taku kenapa kau diluar saja? Tidak masuk rumah?” Ucap seorang perempuan yang keluar dari rumah yang berada di sebelah kiriku, “Ada apa?” tanyanya lagi dengan nada khawatir, “Kau bertengkar dengan Chinatsu?”

Karena dia mengenal Chinatsu sebaiknya aku tidak mengulang kesalahan yang sama, akan kucoba untuk bersikap normal dihadapannya.

“Kami hanya sedikit berdebat.” Jawabku berbohong.

“Berdebat?” tanyanya ragu, “Sampai dia menamparmu?”

“Kau melihatnya?”

“Maaf, aku hanya ingin mengembalikan DVD tapi malah melihat kalian.”

Dari sini aku harus berhati-hati jangan sampai dia curiga seperti Chinatsu. Meski situasinya tidak menguntungkanku karena jika aku diam saja dia bisa curiga, dan meski aku bicara juga sama saja jika yang kukatakan ternyata bertentangan dari kenyataannya, karena aku disini tak tahu siapa diriku sedangkan orang lain lebih mengenalku dari diriku sendiri.

“Oh iya, Taku kau lupa mengunci rumahmu lagi ‘kan?”

“Be-benarkah?”

“Tentu saja, kalau kau mengunci rumahmu aku tak bisa mengambil DVD ini tanpa izin.”

Dia berjalan kearahku untuk menyerahkan DVD yang dia bawa lalu menggandeng tanganku tanpa menghentikan langkahnya, menuntunku masuk ke rumah yang tepat berhadapan dengan rumahnya, mungkinkah ini rumahku? Dalam hati aku bersyukur bisa pulang tanpa harus bertanya padanya karena kalau aku melakukan itu dia pasti curiga. Di dalam rumah aku melihat sekeliling berharap dapat mengingat sesuatu.

“Kau tidak mencurigaiku telah mencuri barang di rumahmu ‘kan?”

“Ah, tidak kok.” Jawabku jujur, “Kenapa kau berpikir begitu?”

“Habisnya sejak masuk rumah kau melihat sekeliling seperti mencari sesuatu.”

Tak kusangka dia cukup teliti juga, gadis yang belum kuketahui namanya. Dia mulai menatapku tajam, seperti yang dilakukan Chinatsu saat dikelas, “Sikapmu aneh banget.” Ucapnya santai, “Apa bertengkar dengan pacar membuatmu galau?”

“Pa-pa-pa-pa-pacar?!” ucapku kaget, “Chinatsu itu pacarku?”

“Begini ya Taku, aku tidak tahu apa yang terjadi diantara kalian tapi jika Chinatsu mendengarmu dia bisa menangis lho!” Katanya memberiku nasihat, aku hanya bisa diam, “Sikapmu saat ini seperti kepalamu telah terbentur sesuatu dan membuatmu amnesia.”

Terbesit sebuah skenario kecil untuk mengelabuinya agar dia tak, meski cukup beresiko akan kucoba cara ini.

“Sebenarnya aku dan Chinatsu sedang bermain sesuatu.”

“Bermain apa?”

“Simulasi, bagaimana jika aku pura-pura amnesia, bagaimana caraku melaluinya.”

Aku benar-benar mengatakannya! Sekarang tidak ada jalan bagiku untuk kembali, semuanya dipertaruhkan apa dia percaya atau tidak.

“Bwahahaha!” dia tertawa begitu keras hingga menggema di setiap sudut ruangan, “Kukira ada apa dengan kalian, tenyata hanya permainan kah? Percuma aku khawatir.”

Aku lega cerita karanganku ini berhasil mengelabuinya.

“Tapi kenapa bersikap amnesia saat bersamaku? Kau bermain dengan Chinatsu ‘kan?”

“Itu, soalnya,, kau tahu ‘kan kalau melakukan sesuatu itu harus totalitas.” Jawabku asal.

“Menarik sekali, tidak kusangka kau menuruti fetish pacarmu sampai seperti ini.”

“Oke, onee-chan akan ikut permainan kalian, jadi skenario kalian sudah sampai mana?”

Yosh, karena aku sudah berhasil menipunya, sekarang aku akan menggali informasi.

“Jadi tadi kami bertengkar karena aku memberitahu Chinatsu bahwa aku lupa ingatan, setelah menamparku dia lari lalu aku diam saja karena aku lupa dimana rumahku.”

“Bwahahahahaha”.

Pusing kepalaku mendengar suaranya apalagi kali ini bahkan lebih keras dari yang tadi.

“Memikirkannya saja membuatku tertawa apalagi mendengarnya langsung, gak nahan!”

Sungguh, sebenarnya aku tak tahu apa yang lucu dari situasi ini.

“Jadi maukah kau membantuku, O-n-e-e-c-h-a-n-!”

“ONEECHAN?! Barusan kau memanggilku Onee-chan?! Luar biasa aktingmu,, oke aku akan membantumu tapi biarkan aku tertawa dulu.” Ucapnya setengah menahan tawa.

Dia benar-benar lepas kendali, tidak ada kesan anggun sama sekali. Padahal setelah kuperhatikan dia cukup manis dengan rambut hitam lurus sepinggang yang terurai bebas menyejukkan mata bagi yang melihatnya, piyama pink bermotif gaun yang dia kenakan juga memberi kesan feminim ala putri dari negeri dongeng tapi tingkahnya saat tertawa merusak pemikiran positivis ku ini. Apa perutnya tidak sakit tertawa seperti itu?

“Oke, sekarang aku sudah tenang, karena dari tadi kau berakting amnesia, mulai sekarang aku akan menganggapmu amnesia. Sekarang silahkan minta bantuanku tuan hilang ingatan.”

Akhirnya kesempatan ini tiba. Aku mulai darimana ya? “Pertama, tolong perkenalkan siapa dirimu dan apa hubunganku dengan Chinatsu.” Tanyaku memulai menggali informasi.

“Ah~ dari sana ya, oke, ehm.. Namaku Kuroyuki, seniormu di sekolah dan klub. Orang-orang memanggilku Kuroyuki-hime, tapi kau boleh memanggilku Kuro-senpai.”

Darimana kau mendapat julukan ‘-hime’ itu? Tidak seperti karaktermu saja dan juga tak kusangka kalau dia lebih tua dariku. Tapi aku lega mengetahui informasi ini.

“Hallo Kau mendengarku?”

“Ah! Iya, aku dengar kok Kuro-senpai.”

“Dan tentang hubunganmu dengan Chinatsu, gimana ya,, meski aku tahu kau bertanya padaku sebagai acuan orang amnesia mengumpulkan informasi diri dari orang disekitarnya, tapi aku masih merasa aneh kalau mengatakannya.” Jawabnya bimbang.

“Sudahlah katakan saja senpai.” Desakku.

“Mau bagaimana lagi, moo.” Keluhnya, “Kau dan Chinatsu itu teman masa kecil, tapi orang-orang menggoda kalian pacaran karena kalian benar-benar dekat, biasanya kalian berdua tersipu malu, tidak mengiyakan atau membantah, tentu saja sikap malu-malu kucing kalian itu manis sekali.”

Mendengar jawaban senpai membuat pipiku memerah, aku mengetahuinya dari pantulan wajahku ketika melihat kepingan DVD yang kubawa.

“Oh iya, biasanya kau memanggilnya Chi-chan jika diluar sekolah, makanya aku tadi terkejut mendengar kau memanggilnya Chinatsu. Kukira kalian bertengkar.” Lanjutnya.

Untung saja senpai percaya kalau aku pura-pura amnesia.

“Ada pertanyaan lagi?”

“Klub apa yang kuikuti dan kenapa Senpai tadi berkata tentang menuruti fetish pacarmu?”

“Hey Taku kau serius menanyakan itu?”

Aku hanya mengangguk.

“Kau mengikuti klub Otaku bersama dengan Chinatsu dan si kembar Kanemoto Sakura dan Kanemoto Fujii.”

Siapa itu Kanemoto Sakura dan Kanemoto Fujii? Bodo ah~ besok juga ketemu.

“Dan untuk fetish itu gimana ya, kau tahu sendiri ‘kan kalau Chinatsu suka sekali dengan hal-hal seperti ini, bahkan kau sampai ikut-ikutan mengoleksinya.” Jawabnya sambil menunjuk tangan kananku yang masih membawa DVD yang dia serahkan tadi.

Kubalik kepingan DVD ini untuk melihat covernya, “Doki-doki Lost Memories?”

“Iya, Chinatsu suka sekali dengan hal-hal seperti itu, entah itu film, manga, anime atau game yang penting tokoh utamanya hilang ingatan, begitu katanya. Aku sampai kesulitan mengajaknya bicara, makanya sesekali aku pinjam koleksimu karena kau teman dekatnya.”

“Baiklah senpai, terimakasih banyak untuk hari ini, aku benar-benar terbantu.”

“Ah~ iya, aku juga terimakasih dan maaf pinjam DVD mu tanpa izin, karena sudah malam aku pulang dulu ya Taku.”

Dengan ini sesi konsultasi dengan senpai berakhir, aku mengantarnya ke teras depan. Ada sedikit hal yang menggangguku saat mengantarnya yaitu menyadari bahwa lampu dirumah ini otomatis menyala jika kau memasuki ruangan, yang kubingungkan adalah mengapa aku heran dengan teknologi ini, apakah itu berarti kesadaranku saat ini berasal dari masa lalu? Kurasa itu tidak mungkin. Daripada terus memikirkannya kurasa lebih baik saat ini aku beristirahat saja, bisa saja ‘kan besok pagi aku mendapatkan kembali ingatanku.

Tapi kenyataan berkata lain, setelah waktu istirahatku dihentikan dering jam weker aku menuju kamar mandi dengan harapan dapat mengingat sesuatu, didepan cermin kupandang bayangan diriku dengan tatapan tajam dan bertanya.

“Siapa dirimu? Seperti apa masa lalumu?”

Percuma saja, tak satupun pertanyaan itu dapat kujawab. Mungkin seperti inilah yang dirasakan tokoh utama cerita isekai, tunggu sebentar kenapa aku masih mengetahui hal seperti isekai? Dan juga kemarin aku masih bisa menjawab pertanyaan sensei. Padahal tak satupun yang kuingat tentang masa laluku, tentang orang-orang disekitarku.

Ini sama sekali tak membantu, tidak ada guna terus memikirkannya. Inginku marah tapi pada siapa, diriku bahkan tak mengingat siapa kawan siapa lawan. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah bersikap seperti siswa SMA pada umumnya dan menghindari interaksi sosial sebisa mungkin sambil mencari informasi tentang diriku.

Setelah merenung tentang nasib sial ini aku bergegas untuk berangkat sekolah, seragam tas sudah siap, aku pikir seharusnya aku membawa ponsel tetapi karena tak melihatnya sejak kemarin, kupikir aku memang tak memilikinya. Yasudah aku bergegas untuk berangkat setelah mengunci pintu rumah sesuai nasihat senpai.

“Selamat pagi Taku!” Sapa senpai dengan senyuman manisnya. Untuk sesaat aku merasa waktu disekitarku berhenti saat memandangnya, seakan mulai mengerti alasan senpai dipanggil ‘-hime’. Tak kusangka seragam sekolah bisa membuatnya terlihat begitu menawan.

“Selamat pagi senpai.” Balasku, segera saja kuhampiri senpai untuk berangkat bersama.

“Kau sudah baikan dengan Chinatsu?”

“Belum, aku tidak tahu cara menghubunginya.”

“Kau punya ponsel kan?”

“Itu aku lupa dimana menaruhnya.”

“Kau payah banget Taku, biasanya kau masukkan dalam tas kan? Coba cari.”

Sambil berjalan kutelaah isi tasku satu persatu hingga terasa benda selain buku di tanganku, “Kau benar Senpai.” Ternyata aku memiliki sebuah ponsel lipat berwarna ungu, terselip diantara buku-buku. “Ah~ baterainya habis gara-gara lupa di charge.” Keluhku.

“Kau masih pakai ponsel jadul itu?” tanyanya, “Lihat, aku punya smartphone baru, meski kurang suka dengan modelnya tapi karena gratis jadi kupakai saja.” Kata senpai memamerkan smartphonenya.

“Gratis?”

“Iya, aku mendapatkannya dari seseorang.”

“Hmm, apa orang itu spesial bagi Senpai?”

“Bisa dibilang spesial tapi bukan dalam artian ‘itu’ lho.”

“Sungguh?”

“Taku kepo ah~ sudah kubilang bukan begitu, ini kudapatkan dari teman perempuanku.”

“Sudah-sudah senpai, maafkan aku.”

“Awas saja nanti kalau ketemu Chinatsu, kulaporin kalau kau sudah menggodaku.”

“Ehhh~”

Hanya saat bersama senpai aku bisa bersikap seperti ini, meski aku tak tahu hal lainnya seperti berapa banyak temanku disekolah tapi entah kenapa firasatku mengatakan bahwa aku pernah seakrab ini dengan senpai. Kami terus bicara sepanjang jalan kesekolah membicarakan hal-hal yang terlintas dalam pikiran entah apapun itu dan mengabaikan tatapan iri dari orang-orang yang kami lewati terutama laki-laki, dalam hati aku bisa mengerti apa yang mereka pikirkan setelah melihatku jalan disamping orang semanis senpai. Mungkinkah alasan senpai dipanggil ‘-hime’ karena dia itu semacam idol disekolah? Pikirku masih mencari alasan dibalik julukan senpai.

“Kau tidak gugup, Taku?”

“Gugup kenapa?”

“Kau menyadarinya kan? Tatapan dari orang-orang.”

Tingkah laku senpai yang seperti ini kurang masuk akal bagiku, kenapa disaat seperti ini dia sangat teliti namun menerima mentah-mentah karanganku tentang hilang ingatan.

“Kupikir apa yang mereka lakukan itu wajar.”

“Kau mau sesuatu yang lebih heboh dari pandangan orang-orang ini?”

“Apa itu?”

Senpai mendekatkan wajahnya seperti akan membisikan sesuatu, karena tak mendengar apapun kudekatkan wajahku juga tapi tak kusangka senpai justru mendaratkan bibirnya di pipiku.

“Ini special service dariku, pastikan kau cepat baikan dengan Chinatsu ya!”

Setelah melayangkan senyuman manis senpai berlari meninggalkanku yang dibuat bengong olehnya. Apa dia sengaja menggodaku disaat seperti ini?

“Apa-apaan kau Taku! Kau mencampakkan Chinatsu dan memilih senpai route ya?”

Siapa orang ini? Tiba-tiba mengejutkanku dari belakang, dari caranya memulai obrolan bisa kusimpulkan kalau dia mengenalku cukup baik. Apa dia temanku? Cowok ini? Walau kalau kupikir lebih baik bersama teman cowok daripada Senpai karena bisa membuat salah paham, terutama jika nanti harus menjelaskan pada Chinatsu.

“Ada apa Taku, kok diam aja?”

Karena terlalu lama berpikir aku jadi tak sempat menjawabnya, bisa-bisa dia curiga.

“Ah~ tidak apa-apa kok.”

“Nee Taku, foto ini boleh kukirim ke Chinatsu?” Dia menunjukkan smartphonenya, terlihat foto senpai saat mencium pipiku tadi. Bagaimana bisa dia memfoto disaat seperti itu? Bahaya kalau ini sampai tersebar.

“Jangan!” Dengan sigap kurebut smartphonenya dan langsung kuhapus foto itu.

“Eh~ kenapa dihapus?” protesnya.

“Kau ini jangan menambah masalahku!”

“Taku sedang ada masalah? Ceritakan saja pada sahabatmu Tomo ini.” Ucapnya sambil menepuk dadanya dengan tangan kanan mengepal seolah bangga. Setidaknya kini aku tahu namanya.

“Oke-oke nanti aku cerita.”

Kukembalikan ponselnya sebelum berjalan menuju kelas, sebenarnya aku tak begitu memperhatikan Tomo setelah itu tapi ternyata kami berada di kelas yang sama. Entah ini sebuah keberuntungan atau tidak karena aku juga tidak bisa langsung percaya pada orang yang mengaku sebagai sahabat. Hingga bel masuk terdengar Chinatsu tidak menampakkan diri juga, apa kejadian kemarin membuatnya syok hingga absen sekolah?

Satu persatu jam pelajaran terlewati tanpa kendala berarti dan seperti hari sebelumnya aku bisa mengikuti pelajaran tanpa masalah. Entah itu ditunjuk maju mengerjakan soal matematika di papan tulis atau ditanya guru sejarah karena ketahuan tertidur di kelas aku selalu bisa menjawab pertanyaan dengan benar padahal semalam aku sangat kelelahan hingga tak sempat membuka buku pelajaran. Sepertinya aku bisa menganggap bahwa hal yang menimpaku ini semacam hilang ingatan sebagian.

Tak terasa kegiatan belajar mengajar di sekolah ini telah berakhir untuk hari ini, waktu berlalu sangat singkat meski hanya dengan memikirkan hal-hal tidak berguna seperti amnesia, itu saja memakan waktu cukup lama. ‘Malu bertanya sesat dijalan’ begitu kata pepatah, tapi kasusku ini adalah aku tidak bisa asal bertanya kepada siapa saja, jadi aku benar-benar ‘tersesat’ disini. Memang ada pilihan untuk bergantung pada senpai atau Tomo tapi aku tak bisa menyerahkan semua masalahku pada mereka, setidaknya aku harus mencari informasi sendiri.

Sekarang di kelas ini hanya menyisakan kami berdua, diriku yang duduk di pojok kanan belakang dan Tomo di pojok kiri depan. Dari tempatku berada dapat melihat Tomo dengan jelas, dia sedang merapikan buku-buku. Aku senang karena dia tidak mengangguku saat istirahat dan tetap dikelas saat pulang seperti ini, mungkin karena dia memang sahabatku jadi paham dengan apa yang akan kulakukan dan itu membuatku sedikit tenang. Inisiatif saja aku menghampirinya duluan kali ini.

“Kau mau curhat denganku ‘kan Taku?”

“Ah, iya.”

“Boleh aku menebak masalahmu?”

“Coba saja.”

“Kau hilang ingatan ‘kan?”

“Apa maksudmu Tomo? Aku tidak paham.”

Reflek saja aku mengelak karena tidak mungkin aku langsung menjawab ‘iya aku hilang ingatan’ pada orang yang terlihat seperti asal menebak. Itu jika dia asal menebak, kalau ternyata dia mengetahui sesuatu aku harus lebih berhati-hati.

“Tak perlu kau tutupi, aku sudah sadar sejak kemarin, sejak pelajaran Ilmu Sosial ‘kan?”

Sejak saat itu? Berarti dia tahu sejak awal! Bagaimana bisa? Tanpa sadar tanganku bergetar tanpa diperintah. Kepalaku dipenuhi pikiran tentang eksperimen manusia, percobaan ilegal, laboraturium rahasia dan berbagai jenis konspirasi lainnya, meski ini bukan film fiksi ilmiah dan aku bukan tokoh utama, entah kenapa firasatku mengatakan untuk waspada.

“Kau tak perlu takut padaku Taku, jadi jangan gemetaran begitu.”

Ini mimpi, ini mimpi, ini mimpi.. Kupejamkan mataku sembari berharap melihat langit-langit kamarku saat pagi dan menyadari kejadian ini sebagai mimpi buruk.

“Sudah kubilang jangan takut, aku disini untuk mengajakmu negoisasi.”

Tomo menarik paksa tanganku dan rasa sakit dari genggaman tangannya menyadarkanku bahwa ini bukan mimpi. Tak ada harapan lagi di kelas yang kosong ini, tak ada yang bisa menolongku, ah~ kira-kira Senpai sekarang ada dimana ya? Apa dia sudah pulang atau menungguku di ruang klub? Kalau tahu seperti ini harusnya aku langsung ke ruang klub saja bersama senpai.

“Ah~ Kau disini ternyata Taku!” terdengar suara senpai, “Kau disini juga ya Tomo, kau dicari Ketua Klub Sepakbola lho.” Lanjutnya.

“Maaf Kuroyuki-senpai, aku cuma ingin bicara sebentar, bukan mengajak membolos.” Ucap Tomo sambil membungkuk kearah senpai, “Kita bicarakan lain waktu ya, Taku.” Katanya sambil berjalan menjauh.

Apa dia belum menyerah? Sebenarnya aku takut, tapi aku tidak bisa menunjukkannya dihadapan Senpai, “Y-ya, tentu.” Begitu kata yang terucap menutupi ketakutanku. Untuk sekarang yang penting Tomo sudah pergi.

“Ada perlu apa senpai?” tanyaku merubah suasana.

“Apa kau sudah lupa dengan klub?” tanya senpai, “Kemarin kau sudah bolos dengan Chinatsu sekarang kau tidak terlihat di ruang klub sepulang sekolah.” Lanjutnya.

“Tenang saja, aku gak ada niatan membolos ‘kok.” Ucapku agar senpai senang, setelah itu kami menuju ruang klub. Awalnya kukira akan menuju ke gedung klub, ternyata ruang klub Otaku berada terpisah jauh di belakang sekolah berupa bangunan kecil seperti gudang.

“Eh~ ini ruang klub?” aku terheran menyadari bagunan tak terurus jika kau perhatikan banyaknya retakan pada dinding serta karat pada pintu dan jendelanya yang sudah tidak bisa tertututup rapat karena melengkung.

“Iya, kau lupa ya? Ups~ maaf kau memang lupa ya, tehee.”

Aku sadar kalau Senpai mengatakan itu dengan niat bercanda, tapi kenapa pakai ‘tehee’?. Keadaan di dalam ruang klub tidak jauh berbeda dengan tampak luar yang bisa dikatakan dibawah standar sebuah bangunan, hanya saja penataan nya lebih rapi karena sering dirawat. Lemari tua dipenuhi manga dan figure anime yang berbaris rapi, sebuah komputer lengkap dengan meja, kursi dan sebuah sofa baru menjadi satu-satunya properti yang terlihat kekinian, dan juga ada satu hal yang mengusik pandangan di ruang ini yaitu adanya sebuah perapian kayu bakar yang menggenapi alasan ruangan ini bisa dikategorikan terlampau kuno. Meski begitu entah kenapa aku melihat senpai lebih hidup disini, seperti tadi pagi saat berangkat sekolah.

“Kenapa ruang klub otaku saja yang terpisah?” tanyaku memulai percakapan.

“Karena Senpai yang memintanya.” Jawabnya santai.

“Hah? Apa maksudnya?”

“Dulu ada wacana mengumpulkan seluruh klub dalam satu gedung tapi kutolak.”

“Kenapa?”

“Alasannya rahasia.”

“Heh~ apa-apaan itu senpai. Oh iya, katanya ada empat anggota? Karena Chinatsu tidak masuk lalu dimana Sakura dan Fujii?”

“Itu masalahnya Taku! Mereka tidak pernah datang setelah mendaftar klub.”

“Huh? Apa mereka ikut klub lain?”

“Tidak.”

“Lalu senpai tidak mencari mereka seperti mencariku tadi?”

“Bagaimana caranya? Mereka juga tidak pernah masuk sekolah.”

Huh?! Aku tidak berkata lagi. Hanya terheran menyadari di lingkaranku ada orang seperti mereka.

“Apa mereka baik-baik saja tidak masuk sekolah seperti itu? Ini semester dua ‘kan.”

“Mungkin kau mengkhawatirkan mereka, tapi masalahnya bukan itu.”

“Lalu apa?”

Belum sempat senpai menjawab pertanyaanku terdengar suara orang mengetuk pintu dengan keras dan belum sampai kuraih gagang pintu untuk mempersilahkan mereka masuk, daun pintu telah dibuka paksa dari luar, mungkin engsel pintunya sampai lepas karena aku mendengar suara logam terjatuh entah darimana. Seorang gadis berambut pirang dikuncir ponytail dan disebelahnya gadis berambut pink sebahu terlihat setelah pintu terbuka.

“Jadi gudang ini masih kumuh sejak terakhir kali aku kesini ya?”

“Eri-sama, sudah kukatakan kalau ini bukan gudang lagi.”

Apa-apaan dengan sikapnya itu, masuk-masuk langsung menghina tempat ini.

“Ano, kau siapa, masuk-masuk langsung berkata kasar?”

Tanpa ragu kalimat itu keluar dari mulutku.

“Taku, jangan!”

Entah kenapa Senpai berusaha menahanku tapi aku menolaknya, aku mendekati dua orang itu. Terutama yang berambut pirang karena sikap tak sopannya, aku jadi yakin kalau dia pelaku pendobrak pintu.

“Apa yang kau katakan? Kau tak kenal siapa aku?”

“Maaf aku tak mengenalmu, aku disini hanya bicara dengan Senpaiku sampai orang tak tahu sopan-santun datang.”

Dengan ini harusnya cukup untuk membuatnya marah. Dan benar saja dia terlihat mengepalkan tangannya meski tidak mungkin dia akan memukulku disini.

“Hana, siapa orang ini?!”

“Kalau tidak salah dia anak kelas 1 bernama Taku.”

“Hmm, jadi dia orangnya.”

Dia melepaskan kepalan tangannya, memandangiku sebentar lalu mengajak orang yang bersamanya pergi.

“Apa-apaan orang itu Senpai.”

Aku menutup pintu yang ternyata benar-benar lepas salah satu baut engselnya, jadi sekarang tak bisa tertutup rapat kecuali digembok dari luar. Setelah memperbaiki posisi pintu aku melihat Senpai terduduk di lantai gemetaran.

“Ada apa senpai?!”

Segera saja aku menghampiri Senpai yang tampak pucat.

“Kau benar-benar tidak tahu siapa dia ya Taku?”

Aku menggelengkan kepala.

“Dia itu ketua OSIS, baru kembali dari luar negeri dan disebelahnya adalah Hana, sekretaris pribadinya sekaligus ketua OSIS sementara saat dia pergi.”

“Lalu kenapa mereka kemari?”

“Aku kurang tahu, sepertinya inspeksi klub. Karena peraturan sekolah tentang jumlah minimal anggota aktif bisa saja klub ini dibubarkan.”

Kusiapkan air putih untuk senpai yang masih lemas, rasanya seperti aku tidak bisa meninggalkan senpai dalam keadaan seperti ini jadi aku menemaninya untuk waktu yang cukup lama. Ini hanya pemikiranku tapi sepertinya Senpai memiliki kenangan berharga dengan ruang klub hingga tak ingin klub ini dipindah atau dibubarkan. Kalau benar begitu setidaknya aku juga akan mencari cara agar bisa membantu senpai melindungi klub otaku.

Setelah keadaan Senpai sudah tenang kami meninggalkan sekolah yang sudah kosong, tak ada yang memulai pembicaraan dalam perjalanan pulang setelah apa yang terjadi. Aku sendiri bingung memulai pembicaraan dan saat kulihat senpai juga seperti sedang tak ingin membicarakan sesuatu. Jadi kulangkahkan terus kaki ini hingga rumah kami yang berhadapan mulai terlihat.

“Eh~”

“kenapa berhenti Taku? Rumahmu masih didepan lho.”

Tidak mungkin, orang didepanku itu tidak salah lagi. Dia menungguku di depan rumah!

“Ah~ dia Tomo ‘kan, kalau tidak salah kalian ada urusan ya.”

Karena Senpai disini aku tidak bisa membuatnya khawatir jadi kali ini aku harus menghadapinya.

“Selamat sore Kuroyuki-hime senpai, Taku, kalian sudah selesai kegiatan klub?”

“Ah~ tentu, oh iya Tomo kau tadi bilang ingin bicara dengan Taku ya? Apa masalah serius?”

“Bukan masalah besar ‘kok senpai, aku hanya ingin mengajak taku ke game center. Sudah lama kami tidak kesana.”

“Begitu ya, kalau begitu sampai jumpa besok ya Taku.”

Senpai masuk ke dalam rumahnya menyisakan aku dan Tomo yang masih berdiri diatas hitamnya jalan aspal ini. Sebenarnya aku sempat berpikir untuk melawannya jika benar dia orang yang berbahaya, tapi melihat postur tubuh kami aku mengurungkan niat untuk memilih pilihan itu, badanku tidak besar dan tidak kecil juga, cenderung terlihat seperti seorang kutu buku saat memakai kacamata, sedangkan Tomo tinggi besar dan berotot, tidak heran kalau dia mengikuti klub sepakbola. Karena itu aku terpaksa mengikutinya, kalau ada apa-apa mungkin aku hanya bisa mengambil langkah seribu dan berharap dia sudah tidak memiliki sisa tenaga untuk mengejarku.

“Jadi apa maumu?”

“Bukankah sudah kubilang kalau kita akan ke game center?”

“Sudah katakan saja sekarang.”

Bagaimanapun aku harus mengetahui motifnya sekarang juga di saat jalanan tak ada lalu-lalang kendaraan seperti ini karena lebih efektif untuk kabur daripada di kerumunan manusia yang bisa menarik perhatian.

“Kau benar Taku, yang kukatakan ini harus dikatakan di tempat sepi seperti ini.”

Dia mulai serius sekarang dan aku memasang sikap ancang-ancang kabur.

“Sebenarnya aku juga mengalami hilang ingatan.”

“Eh?”

Kakiku yang bersiap lari menjadi beku tak mau bergerak setelah mendengar perkataannya.

“Kau hilang ingatan juga?”

Aku tidak begitu mengerti apa yang terjadi disini, masalahku sendiri sudah cukup membuatku muak, lalu sekarang ada orang yang mengaku hilang ingatan didepanku. Tentu saja aku juga tidak langsung percaya padanya, dia masih terlihat mencurigakan dimataku.

“Kau pasti tidak percaya denganku ‘kan Taku.”

Tentu saja aku tidak bisa percaya padamu, bagaimana caramu membuatku percaya?

“Bagaimana kalau kau melihat ini?”

Tomo mengeluarkan smartphonenya, menunjukkan sebuah foto padaku. Foto selfie dirinya bersama seseorang. Tunggu dulu ada apa dengan wajah orang disebelahnya? Apa aku halusinasi atau memang ada kabut hitam yang menghalangi foto ini? Kuambil smartphone itu darinya agar bisa melihat lebih jelas dan ketika aku memperbesar foto di ponsel itu dengan kedua jariku namun wajah orang itu tetap saja tertutupi kabut hitam yang bergerak-gerak. Bahkan ketika aku mengusap layar di bagian kabut hitam itu tetap tidak bisa hilang.

“Bagaimana menurutmu Taku?”

“Ini foto atau video? Bisa saja kau mengeditnya kan.”

“Sudah kuduga kau akan mengatakan itu.”

Sekarang dia mengeluarkan sesuatu dari saku di dadanya.

“Lalu bagaimana tanggapanmu tentang ini?”

“Ini ‘kan?!”

Tomo menunjukkanku beberapa lembar foto, dari background-nya terlihat seperti perayaan ulang tahun karena ada caption ‘otanjoubi oni-chan’ tapi seperti foto di ponsel tadi, hanya ada dua orang yaitu tomo dan orang yang satunya tertutupi oleh kabut hitam yang bergerak-gerak. Aku juga mengambil lembaran foto itu dari Tomo, dan yang benar saja bagaimanapun kau mengusap foto itu kabut hitam tetap ada. Aku mulai berpikir kalau aku sedang barhalusinasi atau apa, karena hal yang kulihat ini melawan hukum fisika tentang pembiasan cahaya. Tidak ada penjelasan logis tentang keberadaan kabut hitam ini.

“Bagaimana menurutmu Taku?”

“Aku percaya kau punya sedikit masalah disini, tapi kenapa kau bilang hilang ingatan? Siapa orang difoto ini?”

“Dia adalah adik perempuanku.”

“Apa?”

“Kau lihat sendiri kan caption di foto itu? Aku memiliki adik perempuan, tapi aku tidak bisa mengingat nama maupun wajahnya dan saat aku melihat foto, video atau dokumen keluarga semua tentangnya tertutupi oleh kabut aneh ini.”

Sungguh tidak dapat percaya, sebenarnya aku hidup di dunia seperti apa? Apakah keberadaan sihir ada di dunia ini? Kemarin aku kehilangan ingatanku lalu ini besok apa lagi?

“Sejak kapan kau hilang ingatan?”

Perlahan aku mulai sedikit percaya pada Tomo, mungkin karena perasaan senasib meski aku belum sepenuhnya percaya tapi setidaknya aku akan menanyakan beberapa hal padanya.

“Tenanglah Taku, jangan terlalu serius. Aku tadi bilang mengajakmu ke game center ‘kan, ayo kita kesana dulu nanti kuceritakan semuanya, aku juga penasaran dengan hilang ingatanmu.”

Dia benar, aku terlalu terbawa suasana. Tidak sadar kalau kami telah berdiri di tengah jalan sudah cukup lama, meski dari tadi tidak ada orang atau kendaraan yang lewat. Kami pun pergi menuju game center seperti yang dikatakan Tomo, sepertinya game center ini merupakan shelter di belakang mall entah apa namanya aku belum tau, nanti kutanyakan padanya.

“Kau bilang game center, tapi ini terlihat seperti shelter wifi corner bagiku.”

“Ini beneran game center ‘kok, lihat disebelah sana.”

Tomo menunjuk ke arah mall, terlihat sebuah game center dengan portal masuk bertuliskan ‘asobizone’, sepertinya shelter ini merupakan tempat istirahat orang-orang yang selesai bermain disana dan juga untuk orang tua yang menunggu anaknya bermain dan juga disini banyak anak-anak yang tampak bermain game dengan konsol game PZP.

“Kau benar ini game center, lalu sekarang apa?”

“Sebenarnya aku mau mengajakmu bermain ini.”

Tomo mengeluarkan dua konsol game PZP dari saku celananya, banyak juga yang dia bawa ternyata.

“Ini kau kupinjami satu.”

“Game apa ini? Aku tak tahu cara mainnya.”

“Ini game yang lagi trend saat ini, Arena Of Hero, sini kuajarin cara mainnya.”

Tomo mengajariku dasar-dasar game ini, intinya kau memilih hero untuk pertarungan lima lawan lima. Setelah paham cara mainnya kami bermain bersama sambil membicarakan hilang ingatan tadi, sekarang aku tahu kalau Tomo juga kehilangan ingatannya kemarin, sama sepertiku hanya saja dia kehilangan ingatan secara bertahap seperti satu-persatu ingatan diambil darinya, aku tidak bisa membayangkan jika itu terjadi padaku meski sebenarnya hal yang kualami mungkin lebih ekstrim darinya, kasusku adalah aku kehilangan ingatan tentang orang-orang dan lingkungan sekitarku dan dalam sekejap aku seperti orang linglung, meski pada akhirnya aku bisa berakting seperti tidak terjadi apa-apa.

Kami terus bermain sambil saling bertukar pengalaman sebagai sesama orang yang mengalami hilang ingatan, perlahan aku semakin percaya pada Tomo karena dia juga mengalami masalah yang rumit sepertiku, jadi dia mengajakku untuk bekerja sama untuk menyelidiki penyebab hilang ingatan ini sekaligus mencari solusinya, sebagai gantinya dia akan menceritakan apa yang dia ketahui tentang diriku jadi aku dapat bersosialisasi di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalku, ini sungguh menguntungkan. Aku langsung menyetujuinya dan Tomo lalu bercerita tentang kepribadianku, teman-temanku, banyak sekali cerita tentangku. Sepertinya Tomo merupakan teman masa kecilku selain Chinatsu.

“Bagaimana Taku? Kita pulang sekarang?”

“Sebentar, satu game lagi.”

“Kau benar-benar ketagihan ya.”

“Ngomong-ngomong, game center ini dibelakang mall ‘kan?”

“Iya, kenapa?”

“Apa nama mall nya?”

“Kanemoto mall.”

“Eh~ Kanemoto?”

“Kau kaget ya? Ini memang mall milik teman klub mu.”

Bagaimana tidak kaget, kupikir aneh saja karena nama marganya ada kata kane (kane = uang) ternyata dia benar berasal dari keluarga tajir dan juga kukira mereka itu berandalan karena tidak pernah masuk sekolah, sepertinya pemikiran positivis ku ini benar-benar harus dirubah.

“Jadi Sakura dan Fujii ada disini?”

“Yup, mereka tidak pernah masuk sekolah karena mengurus mall.”

“Apa tidak masalah?”

“Bukan masalah untuk mereka karena orang tua mereka donatur terbesar sekolah, tapi..”

“Tapi apa?”

“Kau tahu sendiri ‘kan kalau mereka tidak pernah masuk klub. Itu bisa membuat klub Otaku ditutup lho karena kurangnya anggota aktif.”

Benar juga, Senpai mengkhawatirkan mereka. Adakah yang bisa kulakukan?

“Hei, bisakah aku menemui mereka?”

“Bisa saja sih.”

“Kalau begitu tolong temani aku Tomo, aku ingin bertemu mereka.”

Kami berhenti bermain game dan masuk kedalam mall, kukira sulit untuk menemui seorang pemilik mall, tapi sesaat kami tiba di auditorium Tomo menunjuk ke arah seorang yang mengenakan setelan jas berwarna abu-abu membawa sebuah handy talky dan terlihat sedang mengatur beberapa bawahannya, katanya dia yang bernama Kanemoto Fujii. Tanpa basa-basi kami menghampirinya dan mengutarakan tujuan kami.

“Apa katamu? Kembali ke sekolah? Kalian bercanda?”

“Tidak, aku serius!”

Dia menolak mentah-mentah permintaan kami.

“Untuk apa sekolah kalau aku sudah sesukses ini!”

“Itu memang benar tapi Klub Otaku bisa dibubarkan kalau kalian tidak pernah masuk!”

“Begitu ya, jadi kau melakukan ini untuk Kuroyukihime-senpai ya.”

“Jangan katakan seolah ini bukan masalahmu!”

“Kau lihat sendiri aku sangat sibuk sekarang, empat hari lagi ada tournament game internasional dan Kanemoto mall akan menjadi tuan rumahnya.”

“Lalu apa? Setelah tournament kau mau masuk sekolah?”

“Tidak semudah itu kawanku.”

Dia memberiku secarik kertas.

“Ini tiket lomba, kuberi gratis untukmu. Jika kau bisa mengalahkanku di final maka aku dan Sakura akan kembali ke sekolah.”

“Sebaiknya kau persiapkan tas sekolahmu.”

“Hmph, itu kalau kau mengalahkanku final.”

“Ayo Tomo kita pulang sekarang.”

“Sampai jumpa empat hari lagi Taku, Tomo, terimakasih sudah berkunjung.”

Aku benar-benar terbawa suasana, aku tidak mengira menyetujui ajakannya untuk bertanding di game, tapi dengan ini aku punya kesempatan untuk menyelamatkan klub.

“Nee Taku kenapa kau setuju saja?”

Tomo menarik-narik lenganku, sepertinya dia khawatir sesuatu.

“Tentu saja karena ini satu-satunya cara agar dia kembali ke sekolah ‘kan?”

“Kau tidak tahu ‘kan kalau Fujii itu juara game nasional tiga tahun berturut-turut?!”

“Hah?”

“Selain sultan dia itu seorang gamer professional yang menjuarai tourmanent game sejak SMP. Apalagi kali ini dia tuan rumah pasti tidak ingin kalah.”

Aku benar-benar tidak memikirkannya, kalau saja aku bisa berpikir jernih pasti aku akan bernegoisasi agar hal ini tidak terjadi. Di saat seperti ini aku merasa sangat sial karena hilang ingatan, tapi apa daya nasi sudah menjadi bubur, yang bisa kulakukan sekrang adalah berlatih game dan berharap dewi fortuna berpihak padaku saat berhadapan dengannya di final nanti.


Chapter 1 End

Tag :
Anda Sedang Membaca Chapter 1 – Kioku ( 記憶 ), Anda Sedang Berada di Artikel Chapter 1 – Kioku ( 記憶 ), Artikel terkait dengan Chapter 1 – Kioku ( 記憶 ), Anda bisa Share Artikel Chapter 1 – Kioku ( 記憶 ) Jika menarik.

Share this